Negeri Maka Tanoan

Negeri Maka Tanoan
GEMA TIGALALU : INTUB MAKA TANOAN, MHONAS MAKA LILIAN, MOT MAKA PALIHARA

Senin, 30 Maret 2009

Intelektual "Tukang" ; Sebuah Fenomena

Judul tulisan diatas diketemukan saat dalam sebuah perenungan (Kontemplasi) panjang, akan carut-marutnya "Taman Akademos" di Negeri yang dibangun diatas landasan emosi. dalam mana diketahui bahwa dewasa ini, diskursus tentang pendidikan, baik dalam konteks alokasi anggaran di APBN, jumlah orang miskin yang tidak bisa sekolah, sampai pada perdebatan akademis tentang manfaat dan mudharat memproduk atau menelurkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP). alhasil semua itu, hingga detik ini belum menemukan suatu jalan keluar terbaik. entah kenapa? apakah mungkin karena terlalu banyak orang cerdas tapi tidak kritis direpublik ini? ataukah karena terlalu banyak orang kritis tetapi berbeda ideologi, sehingga sulit merumuskan suatu solusi? ataukah ada hal lain? jika ada yang mengetahui jawabnya, tolong dipublikasikan sehingga menjadi referensi bagi setiap orang. entah itu penguasa, cendekia, reformis, kaum intelektual maupun siapa saja yang masih menyisakan nurani keprihatinan bagi dunia pendidikan di negeri ini.
Seperti pertanyaan-pertanyaan diatas, nampaknya perenungan panjang dalam sebuah per"tapa"an intelektual, ditemukan sebuah jawaban, namun tentu saja tidak menjawab semua pertanyaan diatas, atau dengan lain perkataan ia hanya menjadi bagian terkecil dari jawaban substansi pertanyaan tersebut. yakni, mungkin terlalu banyak intelektual "tukang" di republik ini, mulai dari tukang proyek, tukang keluar negeri, sampai pada tukang dengan mengatas-namakan program-program pemberdayaan masyarakat.sehingga pada akhirnya tidak lagi punya waktu untuk mendiskusikan dan merumuskan solusi atas permasalahan yang di hadapi dunia pendidikan kita yang memprihatinkan ini. Koq... bisa memprihatinkan? iya... memprihatinkan, karena jika kaum akademia - terutama tenaga pendidik - telah menjadi intelektual tukang, maka akan berakibat pada produksi para ilmuan atau intelektual yang dapat dikatakan atau di labeli "intelektual pohon pisang". artinya sekali berbuah dan kemudian tak berbuah lagi. tak heran jika mereka-mereka yang di doktrin oleh para intelektual tukang memiliki kecenderungan yang sama dengan para intelektual tukang, yakni selalu mengabaikan tanggung-jawab sosial dan keilmuannya. hal ini diakibatkan terjadi karena mereka terlalu dalam bermesaraan dengan kekuasaan. sehingga tak jarang para ilmuan turut melegitimasi kepentingan penguasa dan menafikkan kepentingan publik yang semestinya diperjuangkan olehnya.
Pada konteks itu, kembali mengingatkan kita pada apa yang telah berulang kali dikatakan oleh sosok yang sudah terbujur kaku di alam sana - Shoe Hok Gie -, bahwa kaum cendekia yang mengabaikan tanggung-jawab sosialnya akan melunturkan nilai-nilai kemanusiaan.dengan demikian, sepatutnya dan semestinya kita harus mengembalikkan ruh dan nafas perjuangan dunia pendidikan pada garis perjuangannya yang hakiki atau sebenarnya. tanpa itu, maka jangan berharap ada upaya perubahan atau solusi yang dapat dirumuskan dan ditawarkan oleh dunia pendidikan yang bebas dari kepentingan sesaat. jika hal ini terjadi, yakin dan percaya, kedepan dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi yang diisi oleh masyarakat kampuz tersebut, tidak akan lagi menjadi wadah atau media menggagas isu-isu perubahan di negeri ini. sungguh sebuah ironi peradaban. semoga semua ini tak akan terjadi.

Tidak ada komentar: