Negeri Maka Tanoan

Negeri Maka Tanoan
GEMA TIGALALU : INTUB MAKA TANOAN, MHONAS MAKA LILIAN, MOT MAKA PALIHARA

Rabu, 01 April 2009

Musibah Gintung ; Siapa Bertanggung - Jawab?

Mengerikan dan Memprihatinkan! Dua kata yang mengawali tulisan ini, selalu saja hadir, manakala kita mendiskusikan tentang persoalan-persoalan yang menimpa rakyat, tentu saja termasuk didalamnya adalah permasalahan kontemporer yang dihadapi rakyat pasca jebolnya tanggul situ gintung. Koq bisa demikian...? yach memang itulah kenyataannya,hampir setiap kejadian rakyat kecillah yang selalu menjadi tumbal atau korban. mungkin sebagian orang yang hanya mengamati dari kejauhan, pasti berseloroh bahwa kejadian jebolnya tanggul di cireunde - ciputat merupakan azab yang diberikan kepada manusia-manusia yang tak bertanggung-jawab atas ke-diri-annya sebagai Khalifah. bahkan tak jarang ada yang mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bernuansa takhyul, yang justru semakin membuat kabur atau tidak jelas cerita substansi dibalik jebol tanggul situ gintung tersebut. namun, apapun ceritanya, satu hal yang mesti disadari adalah Negeri ini kembali Menangis, ketika sebuah tragedi terjadi diperbatasan Jakarta-Tangerang pada beberapa waktu lalu. kejadian naas itu kembali merenggut ratusan nyawa - sesuai data terakhir 100 orang meninggal yang sudah di temukan -, dan lainnya belum diketahui rimbanya.
Ironi-nya, ditengah derita rakyat, yang sementara mendiami camp-camp pengungsian, Negara (Baca : Pemerintah) saling melempar tanggung-jawab. bahkan, kembali menyalahkan warga yang bermukim disekitar danau. sungguh sebuah sikap ketidak-pedulian terhadap nasib rakyat. seperti inikah pemimpin-peminpin kita?. hal lain yang mesti disadari juga adalah bahwa musibah situ gintung adalah Bencana bukan Bencana Alam. kenapa? karena hal itu terjadi, akibat dari kelalaian dan/atau pembiaran yang dilakukan oleh institusi-institusi negara yang telah diamanahkan tanggung-jawab kepadanya. jika amanah tersebut dapat dijalankan, mungkin saja korban masyarakat dapat dihindarkan. entah kenapa sikap pengabaian dan pembiaran dilakukan oleh mereka-mereka? dapatkah ini dikatakan sebuah konspirasi elite untuk kepentingan tertentu? semua kita belum menemukan jawabnya.
Tetapi untuk menemukan jawaban akan kebenaran semua cerita diatas, sementara penulis dapat mengatakan yach, bahwa ada faktor kesengajaan dalam kejadian jebolnya tanggul situ tersebut. dalam mana, kasus jebolnya tanggul situ gintung adalah bukan kali ini yang pertama, dimana pada tahun 2007 juga pernah terjadi hal yang sama - walaupun potensi tidak sebesar ini -. juga telah dilakukan riset oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Tekhnologi serta Pusat Penelitian dan Tekhnologi Serpong dan hasilnya mengindikasikan bahwa adanya keretakan pada tanggul situ gintung. namun, hal ini tidak ditindak lanjuti oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah? sungguh sebuah kejahatan kemanusian yang sengaja dipertontonkan.
Sekali lagi, hingga detik ini, belum dapat dipastikan siapa yang bertanggung-jawab, tetapi jika merujuk pada MOU yang ditanda-tangani empat menteri, maka dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah setempatlah yang harus bertanggung-jawab. lantas.... bagaimana caranya, untuk menuntut kepada mereka yang dikatakan bertanggung-jawab atas kejadian ini? pada konteks ini, kiranya kita harus rapatkan barisan, sekali lagi barisan bukan kerumunan untuk melawan bentuk-bentuk penzholiman kepada rakyat yang tak berdosa. jika tidak, jangan pernah bermimpi bahwa kejadian-kejadian seperti akan tertangani secara baik dan bijak. karena kita hanya akan mengawetkan ending cerita yang tak baik, yakni dengan cara-cara kompromi ganti rugi dan tamatlah sudah ceritanya. jika endingnya hanya demikian, bukan tidak mungkin kejadian dengan modus kelalaian akan terjadi pada situ-situ atau DAS yang lain. karena fakta sejarah menunjukkan, apapun bentuk penggusuran terhadap rakyat, modusnya pasti sama, yakni pembiaran dan pembakaran. dengan demikian, mari bersama rakyat yang selalu dijadikan tumbal untuk meneguhkan hati dan berteriak secara keras bahwa cuma satu " LAWAN" semua bentuk-bentuk penindasan dengan modus-modus seperti apapun.

baca selengkapnya......

Senin, 30 Maret 2009

Intelektual "Tukang" ; Sebuah Fenomena

Judul tulisan diatas diketemukan saat dalam sebuah perenungan (Kontemplasi) panjang, akan carut-marutnya "Taman Akademos" di Negeri yang dibangun diatas landasan emosi. dalam mana diketahui bahwa dewasa ini, diskursus tentang pendidikan, baik dalam konteks alokasi anggaran di APBN, jumlah orang miskin yang tidak bisa sekolah, sampai pada perdebatan akademis tentang manfaat dan mudharat memproduk atau menelurkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP). alhasil semua itu, hingga detik ini belum menemukan suatu jalan keluar terbaik. entah kenapa? apakah mungkin karena terlalu banyak orang cerdas tapi tidak kritis direpublik ini? ataukah karena terlalu banyak orang kritis tetapi berbeda ideologi, sehingga sulit merumuskan suatu solusi? ataukah ada hal lain? jika ada yang mengetahui jawabnya, tolong dipublikasikan sehingga menjadi referensi bagi setiap orang. entah itu penguasa, cendekia, reformis, kaum intelektual maupun siapa saja yang masih menyisakan nurani keprihatinan bagi dunia pendidikan di negeri ini.
Seperti pertanyaan-pertanyaan diatas, nampaknya perenungan panjang dalam sebuah per"tapa"an intelektual, ditemukan sebuah jawaban, namun tentu saja tidak menjawab semua pertanyaan diatas, atau dengan lain perkataan ia hanya menjadi bagian terkecil dari jawaban substansi pertanyaan tersebut. yakni, mungkin terlalu banyak intelektual "tukang" di republik ini, mulai dari tukang proyek, tukang keluar negeri, sampai pada tukang dengan mengatas-namakan program-program pemberdayaan masyarakat.sehingga pada akhirnya tidak lagi punya waktu untuk mendiskusikan dan merumuskan solusi atas permasalahan yang di hadapi dunia pendidikan kita yang memprihatinkan ini. Koq... bisa memprihatinkan? iya... memprihatinkan, karena jika kaum akademia - terutama tenaga pendidik - telah menjadi intelektual tukang, maka akan berakibat pada produksi para ilmuan atau intelektual yang dapat dikatakan atau di labeli "intelektual pohon pisang". artinya sekali berbuah dan kemudian tak berbuah lagi. tak heran jika mereka-mereka yang di doktrin oleh para intelektual tukang memiliki kecenderungan yang sama dengan para intelektual tukang, yakni selalu mengabaikan tanggung-jawab sosial dan keilmuannya. hal ini diakibatkan terjadi karena mereka terlalu dalam bermesaraan dengan kekuasaan. sehingga tak jarang para ilmuan turut melegitimasi kepentingan penguasa dan menafikkan kepentingan publik yang semestinya diperjuangkan olehnya.
Pada konteks itu, kembali mengingatkan kita pada apa yang telah berulang kali dikatakan oleh sosok yang sudah terbujur kaku di alam sana - Shoe Hok Gie -, bahwa kaum cendekia yang mengabaikan tanggung-jawab sosialnya akan melunturkan nilai-nilai kemanusiaan.dengan demikian, sepatutnya dan semestinya kita harus mengembalikkan ruh dan nafas perjuangan dunia pendidikan pada garis perjuangannya yang hakiki atau sebenarnya. tanpa itu, maka jangan berharap ada upaya perubahan atau solusi yang dapat dirumuskan dan ditawarkan oleh dunia pendidikan yang bebas dari kepentingan sesaat. jika hal ini terjadi, yakin dan percaya, kedepan dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi yang diisi oleh masyarakat kampuz tersebut, tidak akan lagi menjadi wadah atau media menggagas isu-isu perubahan di negeri ini. sungguh sebuah ironi peradaban. semoga semua ini tak akan terjadi.

baca selengkapnya......

Minggu, 29 Maret 2009

Baliho Di Bumi Pertiwi ; Sebuah Dinamika Politik

Dewasa ini, bumi pertiwi yang kita cintai diterpa berbagai fenomena, namun dapat juga dikatakan dinamika. Yach, mungkin tepatnya adalah dinamika politik menjelang ritual yang telah menyejarah, dan bisa jadi telah membumi dan monumental. Yakni suatu agenda ritual dalam lima tahunan, atau lebih dikenal dengan Pemilu. Baik Legislatif maupun Pemilihan Presiden. Berbagai harapan, juga berbagai cita-cita atas datangnya sebuah perubahan yang dapat menunjukkan wajah negeri dengan jelas – setelah sekian lama wajahnya bertopeng atau samar-samar -. Namun sontak, muncul pertanyaan apakah wajah-wajah yang menghiasi badan jalan dan terlihat bak pameran foto, yang tak kalah bersaing dengan rambu-rambu lalulintas serta papan reklame tersebut dapat membawa perubahan yang signifikan? Tentunya sebagian dengan optimisme mengatakan iya, tapi sebagian lainnya merasa skeptis dan pesimis terhadap mereka-mereka yang tinggal menghitung hari menjadi para wakil rakyat tersebut. Mengutip kata-kata seorang temanku (Masyhuri Chalid,Dosen UNNU Tidore), bahwa begitu banyak gambar wajah, begitu banyak citra, begitu banyak cerita, tentang hasrat akan kekuasaan yang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selalu mendominasi ruang wacana keseharian kita. Kekuasaan itu bisa bermanfaat manakala dijalankan sebagaimana amanatnya, tetapi juga bisa menjadi malapetaka. Namun semua itu, tergantung pada wajah-wajah yang menghasratinya, sesuatu yang secara etis bisa baik dan bisa buruk apabila keliru membuat keputusan dalam memilih. Kalau baik InsyaAllah kita akan mendengarkan cerita tentang pribadi-pribadi yang mengklaim diri sebagai democrat sejati, tentang golongan yang suka berkarya untuk bangsanya, tentang mereka yang sedang memperjuangkan demokrasi, tentang mereka yang hendak menunaikan amanat nasional, tentang mereka yang mau bercermin pada hati nurani rakyat, tentang mereka yang mencita-citakan bangsa yang bersinar seperti bulan bintang di malam hari, dan juga tentang mereka yang mengusung gerakan Indonesia raya. Tetapi sebaliknya bila itu buruk, maka yang terdengar adalah cerita tentang pribadi-pribadi yang munafik dalam politik, tentang golongan yang berkarya tapi tidak ikhlas, tentang demokrasi yang diperjuangkan dengan cara-cara yang tidak santun, tentang pengkhianatan terhadap amanat nasional, tentang hati nurani yang dibungkus najis-najis batin para tokohnya, tentang bangsa yang gulita karena bulan bintang tak lagi bersinar, atau tentang Indonesia yang menangis.
Disadari bahwa semua itu masih sebatas hasrat, sebatas gambar-gambar, yach, masih sebatas baliho. Bahwa setiap orang menghasrati kekuasaan memang tak bisa dinafikan sebagai hak eksistensial manusia. Nietzche di abad 19 menyebut ini sebagai “kehendak untuk berkuasa,” atau dalam ungkapan Foucault “kekuasaan ada di mana-mana”. Kekuasaan tak lagi di monopoli oleh kalangan elit atau bangsawan, tapi juga bisa diakses oleh kalangan grassrooth, ada semacam populisasi kekuasaan yang mencibir segala yang bersifat aristokratis, karena politik Indonesia kontemporer terutama untuk beberapa hari terakhir tengah mengalami apa yang oleh Goenawan Mohammad menyebutnya sebagai “sindrom Italia.” Maksudnya, Di Italia, menurut Goenawan, pelacur juga bisa menjadi calon presiden.(Masyhuri Chalid)
Diakui bahwa begitu banyak gambar wajah-wajah pribumi yang terpampang dengan jelas, dan diwarnai dengan kata-kata yang membuat kita terkesimak, manakala menghentikan langkah sejenak dan mencoba membacanya dengan seksama dan teliti. Dari sekian banyak wajah tersebut, boleh dikatakan,. ada yang tersenyum ramah, ada juga yang sangar menakutkan, ada yang begitu percaya diri tapi ada juga yang genit, ada yang tampak ksatria dan ada yang bergaya baby face yang imut-imut. Wajah-wajah di baliho itu secara teori adalah ilustrasi tentang hasrat untuk berkuasa, tapi bisa berpotensi sebagai ilusi, halusinasi, atau bahkan fitnah dalam politik, adalah suatu kondisi psikologis yang menghapus batas-batas antara ada dan tiada akibat dari determinasi hasrat yang membabibuta, suatu kondisi yang dalam diskursus posmodernisme disebut “hiperrealitas".Wajah-wajah di baliho itu tidak saja mau bercampur aduk untuk tidak mengatakan bersaing dengan papan reklame perusahan, tapi juga bertumpang tindih dengan rambu-rambu lalu lintas. Sebagaimana papan reklame, wajah-wajah dibaliho itu juga menawarkan barang dan jasa sepanjang itu bersimbiosis dengan kekuasaan, namun terkadang hanya menawarkan cita-cita atan janji-janji. Sebagaimana rambu-rambu lalu-lintas, baliho-baliho juga bisa mengatur dan menertibkan para pemilih untuk hati-hati dan konsisten dengan warna partai, figur juga ideologi.(Masyhuri Chalid)
Politik baliho, bisa jadi hasil konstruksi dari imajinasi. Tapi bisa jadi karena konstruksi sistem yang dibangun untuk mengacaukan suasana kota atau kampung serta memusingkan para pemilih, terutama pemilih pemula untuk meletakkan kepercayaan mereka pada wakilnya di DPR maupun DPRD, sehingga dikemudian hari sulit untuk dimintai pertanggungjawaban atas janji-janjinya. Namun politik baliho juga bisa bermakna, manakal itu dimaksudkan untuk memperkenalkan diri secara jelas –tidak samar-samar- sebagai wakil rakyat manakala mereka terpilih. Juga bisa bermakna sebagai media pendidikan politik yang baik dan bermartabat. Ironi-nya, kata-kata yang menghiasi baliho bukanlah, ungkapan yang baru pertama kali dibaca oleh publik, namun sudah kesekian kalinya kata-kata itu muncul, tapi nyatanya ibu pertiwi belum juga menghentikkan tangisnya atas keserakahan dan kesewenang-wenangan yang dialamatkan kepada anaka negeri. Wajar memang, karena yang terlihat adalah wajah-wajah lama, yang sudah lihai dalam melakukan pembohongan publik. Pada konteks ini, tergantung pada siapa, kapan, bagaimana, dan dimana politik dimaknai secara praksis.
Sekali lagi, begitu banyak wajah, begitu banyak cerita, begitu banyak hasrat, baik di pusat-pusat kota, di atas trotoar, di pasar-pasar. Politik di negeri ini sebagaimana wajah-wajah di baliho, tersirat ketidakpastian ontologis, sesuatu yang paradoks pada wilayah hakikat mengenai apa sesungguhnya politik itu. Wajah-wajah itu seperti menyingkapkan diri dari ketersembunyian, sekaligus bersembunyi di balik ketersingkapan.
Pada konteks itu, maka yang ingin penulis katakan disini adalah, tentukanlah pilihan kritis anda, dan jika mereka diragukan janganlah anda memilih, karena tidak memilih adalah hak. Dengan demikian diri-diri yang suda berdosa ini, tidak lagi menambah daftar panjang dosa yang dicatat oleh para malaikat, akibat dari melegitimasi orang-orang yang tak bertanggung-jawab atas nasib rakyat di bumi pertiwi ini. Serta tidak mengawetkan eksistensi para wakil rakyat yang tak bermoral mendiami gedung rakyat yang terhormat. Patut kiranya, untuk meragukan mereka, terlebih bagi mereka dengan baliho yang masih memanggil kekuatan arwah-arwah yang telah tiada untuk melindunginya dengan memampangkan ruh-ruh yang telah tiada dibelakang balihonya. Hal ini, adalah cerminan dari tidak adanya kepercayaan diri orang-orang yang katanya mau memperjuangkan nasib rakyat di parlemen. Sungguh sebuah ironi peradaban.
Ingat ! Kedaulatan Ada Di Tangan Anda. Ingat ! IMasa Depan Negeri Ini Ditentukan Oleh Pilihan Moral dan Bukan Pilihan Kepentingan Sesaat Anda. Sadarlah bahwa Dewa Penyelamat Bumi Pertiwi Terletak Pada Pilihan Kritis Anda.”

baca selengkapnya......

Kamis, 26 Maret 2009

Nasib Para Pembaharu ; Sebuah Cerita Terserak

Nasib Terbaik Adalah Tidak Pernah Dilahirkan,
Yang Kedua, Dilahirkan Tapi Mati Muda,
Dan Yang Paling Tersial Adalah Mati Diusia Tua.
Wahai Bayi Kecil, Kembalilah Dari Ada Ke Tiada,
Kembali Dalam Ketiadaanmu
(Shoe Hoek Gie ; Catatan Harian Seorang Demonstran)

Kalimat Diatas sontak teringat oleh ku saat dalam sebuah perjalanan ! Yach....benar dalam sebuah perjalanan pulang... tepatnya perjalanan pulang ke bogor bersama seorang temanku. dalam mana, saat itu kami lewati jalan yang mungkin tak asing bagi siapa saja, yang pernah menginjakkan kaki di kota yang dihuni para penindas kelap kakap ( Baca : Kota Jakarta), yakni Jalan Imam Bonjol. Jalan yang mungkin tak jauh dari jalan Proklamasi, Diponegoro, Wahid Hasyim, juga Thamrin dan Sudirman. bahkan tak jauh dari gedung itu, berdiri sekretariat sebuah institusi yang terlanjur besar di bangsa ini, yakni PB HMI. secara sadar aku langsung mengatakan pada temanku, bahwa ketika melewati jalan-jalan tersebut, aku selalu teringat oleh kata-kata seorang demonstran, cendekia, juga seorang pejuang perubahan, namun perjuangannya itu sampai saat ini belum juga terwujud. entah kenapa ? aku juga belum menemukan jawabnya. sosok yang kumaksud adalah Shu Hok Gie - namun bukan berarti hanya dia seorang yang melakukan hal itu, karena masih banyak sosok yang militan dan memiliki semangat perjuangan yang sama, bahkan jauh lebih besar lagi yang tentunya sudah ada jauh sebelum dia hadir- lalu... dengan secara sadar pula temanku mengajukan sebuah pertanyaan. kenapa kamu selalu teringat akan kata-kata sang demonstran - seperti tertulis diatas - tersebut?secara perlahan, aku memaksakan diri dengan nada suara yang agak serak atau parau - karena tanpa sadar air mataku menetes - aku menjawab, dengan menunjukkan telunjukku kearah sebuah gedung - tak tahu jelas, gedung apa itu - kalau tidak salah ingat, sepenggal kata yang sempat ku baca didepan gedung tersebut adalah " Justice "-semoga tidak salah tulis -. Tentunya bukan itu inti dari cerita ini, namun yang pasti memberi kesan mendalam adalah didepan gedung atau kantor tersebut terpampang sehingga terlihat begitu jelas wajah - wajah anak negeri yang harus membayar mahal nilai dari sebuah sikap perlawanan yang ditunjukkan dalam perjuangannya atas nama keadilan, perubahan dan mungkin masih banyak lagi atas nama kebenaran. mereka semua- andai tak salah- meregang nyawa didepan moncong senapan, ditaburi racun arsenik, disiksa dan berbagai modus pembunuhan lainnya. semua itu terjadi, karena pilihan. yach .... karena pilihan mereka untuk adanya keadilan, kebenaran dan keberpihakan terhadap rakyat banyak, yang dapat hidup di negara yang katanya pro terhadap nasib ummat/rakyat.
Pada konteks "Pilihan" itu, kembali saya diingatkan oleh kata-kata seorang sahabatku. yakni, hidupa adalah pilihan. dan setiap pilihan memiliki konsekuensinya masing-masing. artinya ketika mengambil suatu pilihan tentunya kita sudah siap mengorbankan pilihan-pilihan lainnya. termasuk didalamnya adalah pilihan untuk tetap hidup dan / atau mati. karena itu dibutuhkan nyali dan keberanian untuk menentukan pilihan-pilihan yang terbaik untuk kita. pernyataan ini mencerminkan sikap dan keberanian orang-orang yang wajahnya terpampang di depan sebuah gedung yang dimaksudkan tadi dalam mengambil sikap dan pilihan hidupnya. mereka telah menganggap bahwa pengorbanannya adalah sebuah konsekuensi logis dari perjuangan yang mereka lakoni. mereka menginginkan dan meyakini bahwa sepeninggal mereka perlawanan yang tak kalah juga akan dilakukan oleh generasi disini dan kini. ironinya, harapan mereka - mereka yang telah secara rela dan ikhlas menjadi sasaran pengejaran militer, sasaran di bumbuhi racun arsenik, sasaran tembak para desertir, dan masih banyak lagi sasaran-sasaran lainnya, dalam konteks kekinian dan kedisinian belum menunjukkan atau membuahkan hasil. yang signifikan. hal ini karena belum terlihat secara jelas perlawanan yang dilakukan berlangsung secara total, tetapi lebih cenderung perlawanan yang terjadi hanya bersifat parsial dan temporer. sungguh sebuah tambahan kepedihan bathin generasi kini kepada para pembaharu yang andai bisa bangkit lagi, maka perjuangan melawan kesewenang-wenangan masih terus berlanjut dan "mungkin" membuahkan hasil yang akan dinikmati oleh anak negeri secara bersama. olehnya, mari bersama membangun sebuah manfesto untuk melawan bentuk-bentuk penindasan - apapun bentuknya- baik oleh negara maupun oleh swasta.
Dalam pada itu, maka yang ingin penulis katakan adalah apa yang disinyalir oleh Krisna ketika menasihati Arjuna yang ragu memanah sang kakek. bahwa yang kau panah bukanlah kakekmu, melainkan keangkara murka-an yang bersarang pada tubuhnya. artinya bahwa antara manusia dan perbuatan adalah dua hal yang berbeda. karena itu, apa yang dilakukan oleh wajah-wajah yang sementara terpajang rapi di jalan Imam Bonjol, depan sebuah gedung adalah sebuah sikap yang secara fisikli dapat digusur oleh roda peradaban, maksudnya sebagai manusia mereka telah tiada karena telah memenuhi panggilan Sang Khalik, akan tetapi sebagai perbuatan, kiranya semangat perjuangannya harus diteladani. maksdunya secara ruhiah, sikap dan perbuatan mereka akan selamanya tetap terabadikan oleh peradaban. karena yang dibunuh adalah sosok mereka secara fisik, namun tidak untuk semangat perjuangan mereka.Semoga wajah-wajah pembaharu bumi pertiwi yang terpampang didepan sebuah gedung itu, tidak sekedar untuk mengingatkan kita akan kejadian tragis yang menimpa mereka, juga bukan sekedar terpampang dalam acara acara serimonial saja, melainkan dengan dihadirkannya wajah -wajah pembaharu yang terpampang tersebut, dapat membangkitkan semangat perjuangan kita untuk meneruskan cita-cita luhur mereka.
Karena Itu, seyogyanya Kalimat yang disampaikan oleh Shoe Hok Gie diatas haruslah dijadikan atau dipahami sebagai sebuah tamparan yang harus segera kita refleksikan. karena memang, nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, sehingga kita tidak pernah mengetahui kejadian yang terjadi diatas persada ini, juga lebih baik mati muda, tapi meninggalkan semangat perjuangan - bukan simbol - yang tak terhapus oleh hujan dan badai, daripada harus mati diusia tua dan tak meninggalkan sesuatu yang berarti. atau jika tetap memilih hidup, maka bersedialah dengan sebuah sikap yang sama seperti Tan Malaka, sehingga kita tidak termasuk pada golongan orang-orang tersial mati di usia tua. karena tidak mampu berbuat sesuatu untuk perubahan negeri ini.
Tulisan berserakan ini, sekedar merefleksikan perjalanan panjang perjuangan mereka-mereka yang telah mendiami alam dimana tempat kembalinya manusia. tidak untuk manusia yang bermoral baik saja, tetapi manusia-manusia pendusta juga pasti akan kembali kesana dan mempertanggiungjawabkan ke-diri-annya sebagai khalifah dimuka bumi. apakah kita dan mereka telah berbuat baik untuk ummat, telah berjuang atas nama kebenaran? atakah kita telah membunuh atas nama keamanan, atau mengakhiri hidup seseorang hanya karena kita berkuasa, dan tidak mau terganggu olehnya? atau meracuni seseorang yang dianggap akan membongkar semua bentuk kejahatan di republik ini? semua kita tidak ada yang mengetahuinya. Tapi tentunya para Malaikat telah mencatat semuanya. besar harapan semoga kita adalah bagian dari orang-orang yang mau meneruskan cita-cita perjuangan mereka, dan kalau perlu harus meregang nyawa dihadapan moncong senapan dan modus pembunuhan lainnya dalam sebuah perjalanan perjuangan kebenaran. seperti yang dilakukan oleh mereka - mereka sebelumnya. karena apapun bentuk dan upaya penghindaran kita, semua kita pasti akan kembali, yang semula tiada kemudian menjadi ada, dan kembali lagi dalam ketiadaan.

baca selengkapnya......

Selasa, 24 Maret 2009

Kisah Seorang Pengelana Cinta

Andai Kuasa Kuhalau Kelam,
Rebahkan Rembulan Dipangkuan Langit Malam
Agar Terangi Kisi-Kisi Hati, Hingga Terbaca Lembar Demi Lembar, Kisah Kasih Yang Terabai, Ternyata Kau Sungguh Berarti, Justru Disaat Tak Mampu Ku Gapai,Engkau Tidak Semulia Fatima Az-Zahra, Juga Tidak Secantik Julaikha, Engkau Adalah Wanita Yang Mampu Membangkitkan Optimisme Cinta, Seorang Hamba Yang Terlanjur Terlalu Lama Pesimis Dengan Cinta. Andai kau tahu, selama waktu tapa-ku tatapku wajahmu, Andai kau tahu, kuingin menjadi selimut di dingin malammu, Andai kau tahu, ku ingin dipangkuanku tidur nyenyakmu
Andai kau tahu, kuingin belai sayangku bunga indah tidurmu.
Sadarlah sebelum tersadarkan ! Mungkin Kata ini tepat dialamatkan bagi yang dengan ketulusan dan keikhlasan hati untuk mencintai seseorang, namun tak mampu digapainya. kalimat pendek ini sekedar basa -basi sebelum menceritakan kebenaran kisah seorang pengelana cinta -tentunya bukan penulis-.
Seorang pria berkisah, bahwa setelah sekian lamanya dia harus terkapar, terbuai dengan kisah sedih oleh sebuah pengkhianatan cinta, kini dia mencoba bangkit kembali untuk menata hidupnya dalam menjalani sebuah ruang percintaan. walaupun tertatih-tatih, karena luka lama yang sempat membuat dirinya pesimis atas cinta, namun sekali lagi, dia mencoba untuk bangkit. semangat dan usaha keras ini, dilandasi sebuah pemikiran dan kepercayaan diri, bahwa tidak semua wanita memiliki kecenderungan untuk berkhianat atas nama cinta - walaupun masih banyak yang meragukan keabsahan hal itu -. pemikiran dan semangat ini muncul, bersamaan dengan ditemukannya seorang wanita yang diimpikannya. lalu diapun berkisah selanjutnya. di suatu ketika, dia mencoba untuk mengenal lebih dekat sosok impian itu dalam sebuah pertemuan singkat di Gudang Buku (Baca : Perpustakaan). diawali dengan ucapan terima kasih atas bantuannya dalam menyelesaikan sebuah tugas kuliah di kampus - sudah lupa /pura-pura lupa nama mata kuliahnya -. basa - basi pun terjadi, namun dari genggaman tangannya saat berjabat tangan, sang pria merasakan ada ketenangan dan kedamaian hati dalam kedalaman bathinnya, tapi bersamaan dengan itu ada sebuah keraguan, bahwa tidak mungkin kumiliki mahluk ciptaan yang indah ini. akhirnya dia putuskan untuk sadar sebelum tersadarkan, bahwa wanita impian itu bukan miliknya. basa-basi pun berakhir, dan sang pria-pun meninggalkan ruang dimana para pencari ilmu sedang melahap berbagai literatur itu.
Dan seperti biasanya, secara alamiah roda waktu-pun kembali berputar, hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. sang wanita impian-pun dengan santai dan tekun dalam melaksanakan aktivitas ritual-nya sebagai seorang mahasiswa - tak tahu apa program studinya -. namun, tanpa disadari olehnya dia telah membuat seorang hamba sekarat dalam mengejar cintanya. dengan landasan atas ketidaksadaran itu, oleh perjalanan waktu sang pria-pun kembali menguburkan niatnya untuk mengejar cintanya atas wanita itu - walaupun itu dipaksakan untuk dihilangkan - . namun, kata hati tidak dapat dipaksakan dan diingkari, bahwa terlanjur dalam perasaan ini menaruh sebuah harapan besar untuk mewujudkan impian itu. Lalu sang pria pun kemudian mencoba untuk mengejar dan menumakan cinta wanita impian itu. namun, ditengah upaya untuk lebih dekat dengan wanita itu, walaupun terkadang sok akrab, padahal yang sesungguhnya sama sekali tidak akrab. kepakan sayap sang burung pembawa berita tiba kehadapanku dengan sebuah berita yang sebenarnya tak kuharapkan, yakni sadarlah....., berhentilah mengejar cita-citamu yang utopis itu - Kata sang burung kepada sang pria -, karena tidak akan terwujud. spontan aku mengatakan apa alasan kamu, sang burung menjawab sosok yang kau impikan itu sebentar lagi akan menikah. diskusi sang pria dan burung-pun berlanjut, bukankah kau dan aku tidak memiliki otoritas untuk mengetahui jodoh kita? kata sang pria. benar memang, tapi kita memiliki rencana, dan sosok itu rencannya akan melangsungkan walimah dalam waktu dekat - entah kapan, pastinya dalam waktu dekat -. jawab sang burung. tak berakhir disitu diskusi tentang sosok impian yang akan menikah itu, sang pria-pun kemudian mencari informasi yang lebih detail dan dapat dipercayai. akhirnya ditemukan jawaban bahwa apa yang dikatakan sang burung adalah benar. lalu.... ditengah keresahan dan jeritan hati, sang pria kemudian mengajukan sebuah pertanyaan yang harus dijawabnya sendiri. Mungkinkah sosok impian itu dapat digapai olehnya? apakah sosok yang mau mendampinginya adalah benar-benar seorang utusan yang dihadirkan untuk dirinya? ataukah sebenarnya sang pria pengelana cintalah yang lebih berhak mendapatkan cintanya? mungkinkah ini jodohnya yang telah tertakdirkan oleh sang Ilahi? hingga derai cinta-pun kemudian harus berbicara tentang kenyataan yang hakiki. mungkin benar kata orang bijak. bahwa sejarah sering berulang. walaupun sosok dan prosesnya terkadang berbeda konteks. namun, sang pria sendiripun tak mampu menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Dalam pada itu, disebuah kontemplasi panjang, sang pria kemudian menemukan jawaban atas semua itu. yakni sadarlah sebelum tersadarkan........................, pada konteks ini, mungkin benar apa yang dikatakan oleh para sastarawan bahwa cinta merupakan sesuatu yang misterius, dia sama seperti seorang wanita yang sangat sulit untuk ditebak.
Hanya doaku, menyertai langkah sang pengelana cinta, sehingga tetap mempertahankan optimisme atas cinta. doaku juga semoga wanita impian itu, dapat menemukan cinta sejatinya. sehingga dapat membahagiakan sang pria yang mendambakannya, namun tak mampu menggapainya.

baca selengkapnya......

Minggu, 01 Maret 2009

Pembangunan Wilayah Secara Berimbang : Catatan Untuk Rencana Pembangunan Pemprov Malut, Kota Ternate & Pemda Halbar

Pembangunan! Kata ini memang selalu menjadi tema sentral dalam perdebatan yang dilakukan oleh para pakar intelektual dinegeri ini maupun dunia. Seringkali kata ini muncul dari siapapun, entah masyarkat pada level groos roots maupun para pengambil kebjakan. Walaupun kata pembangunan seringkali menghiasi kolom artikel di berbagai media cetak dan buku-buku teks. Namun kenyataan tak bisa dihindari bahwa kata ini belum memiliki makna secara harfiah yang disepakati oleh semua komunitas. Kondisi inilah yang pada gilirannya memunculkan pemahaman atas pengertian pembangunan yang berbeda-beda, bahkan tak jarang menjadi bias. Fakta ini ditemukan oleh seorang Selo Sumardjan yang sempat terdampar di sebuah kota kecil, dimana seorang penduduk menyatakan bahwa “ Saya dulu tinggal di Jakarta, tapi karena adanya pembangunan sehingga saya pindah kesini”. Hal lainnya adalah apa yang pernah ditemukan oleh Romo Mangun diatas puncak gunung kidul, dalam mana seorang penduduk setempat mengatakan bahwa “ Saya bisa menghidupi keluarga, apabila tidak ada perintah pembangunan dari Kepala Desa”. Mungkin saja masih ada paradoks-paradoks lain yang belum terdeteksi. Yang tentu sama halnya dengan kedua paradoks yang ditemukan oleh kedua orang diatas.
Pada konteks itu, mungkinkah diperlukan sebuah konsep pembangunan yang dikonstruksi untuk menyamaratakan pemahaman atas makna pembangunan? Dapatkah kata pengembangan hadir untuk memecahkan paradoks tentang makna pembangunan? Ataukah kata yang tepat digunakan adalah pemberdayaan? Sungguh sebuah dilema.
Dalam ilmu perencanaan pembangunan wilayah, cenderung kata yang digunakan adalah pengembangan wilayah/kawasan daripada pembangunan wilayah/kawasan untuk istilah regional development, demikian juga untuk istilah community development, banyak yang cenderung menggunakan kata pengembangan wilayah dibandingakan pembangunan wilayah. hal ini dimaksudkan untuk menghindari pemahaman pembangunan yang bias. Misalnya, kata “ Perencanaan Dan Pengembangan Wilayah”. Munculnya berbagai pengertian dan pemahaman atas pembangunan tersebut, jika diamati secara mendalam dapat dikatakan bahwa secara subtantif makna pembangunan bergantung pada konteks pembangunan itu sendiri. halmana dapat dilihat dalam cerita Selo Sumardjan, dimana pembangunan bagi yang bersangkutan (Baca: seorang penduduk), adalah sebuah kebijakan yang pada gilirannya menyingkirkan rakyat. Bahkan pembangunan juga –seperti cerita Romo Mangun – adalah sebuah kegiatan yang dilaksanakan atas perintah Kepala Desa.
Dengan berbagai paradoks tersebut, dapat dikatakan bahwa pembangunan yang dijalankan selama ini telah menunjukkan wajahnya yang sangat menindas massa-rakyat – terutama kaum periferi-, karena itu konsep dan strategi pembangunan menjadi penting untuk direkonstruksi kembali. Sebab, model pembangunan selama ini telah banyak mengalami kekeliruan dalam proses perencanaannya – termasuk didalamnya adalah implementasi dari konsep pembangunan itu sendiri -.
Dalam pada itu, menjadi penting untuk dipikirkan solusi atas konsep pembangunan yang dikonstruksi pada level Maluku Utara. Secara konseptual rencana pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi Maluku Utara, tentang rel kereta api lintas halmahera, pemerintah Kota Ternate dengan Tastera dan Pemeritah Daerah Kabupaten Halmahera Barat dengan Bandar Udara berskala Internasional adalah sebuah langkah maju, namun mestinya dipikirkan langkah-langkah dan indikator-indikator yang menyertainya. Karena salah satu strategi dari pembangunan berimbang atau pengembangan wilayah adalah harus adanya backward & Forward Linkage, kondisi ini sama halnya dengan penentuan sektor unggulan. Dalam mana berbagai contoh yang dapat dijadikan ukuran untuk melihat kekeliruan dalam menentukan sektor unggulan. Yakni kecenderungan penentuan sektor ini hanya didasarkan pada ukuran luas area lahan atau hanya mempertimbangkan aspek fisik wilayah semata, tanpa mempertimbangkan aspek ekonomi dan financial, serta aspek terkait lainnya. Sehingga apa yang menjadi sektor service seringkali hal itu dianggap sebagai sektor unggulan atau tak jarang disebut sektor basis.
Berbagai konsep pembangunan yang coba dirumuskan oleh para pengambil kebijakan di Maluku Utara, idealnya mengikuti pentahapan yang memadai, sehingga azas manfaat dari pembangunan untuk masyarakat dapat dirasakan secara baik. Bukan melakukan lompatan-lompatan ide atau gagasan dalam merumuskan sebuah konsep perencanaan. Artinya bahwa dalam merumuskan sebuah perencanaan pembangunan berbagai dimensi harus dipikirkan dan/atau dipertimbangkan, sehingga mampu manyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat – terutama bagi masyarakat perdesaan -, bukan membuat masalah menjadi terpecah-pecah, yang pada gilirannya akan menyulitkan kita untuk merumuskan solusinya.
Secara teoritik, pembangunan yang berimbang bukan an-sich dilakukan pada wilayah central, namun yang dimaksdukan dengan keberimbangan pembangunan wilayah adalah adanya alokasi sumber daya yang berimbang bagi kawasan perkotaan dan perdesaan. Pada konteks itu, maka rencana pembangunan yang dilakukan oleh ketiga pemerintah di Maluku Utara yang sangat luar biasa diatas, adalah merupakan sebuah langkah untuk mengantisipasi Backwash Effect dan penyakit migrasi desa-kota yang luar biasa pada masa mendatang. Namun –sekali lagi – yang dikhawatirkan dan patut diajukan pertanyaan adalah “Apakah konsep rencana pembangunan diatas telah dilakukan kajian yang secara sistematis dan menyeluruh? Jika ya, apakah konsep pembangunan mega proyek yang akan dilakukan oleh ketiga pemerintahan dengan pendekatan pengembangan wilayah telah mengakomodasi strategi demand side strategy dan supply side startegy ? selanjutnya, bagaimana dengan indikator pembangunan wilayah yang meliputi Tujuan Pembangunan, Kapasitas Sumber Daya Pembangunan dan Proses Pembangunan. Dimana, diketahui bahwa tujuan pembangunan meliputi “Growth, Equity & sustainability. Sementara menurut kapasitas sumber daya pembangunan meliputi “ sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya buatan & sumber daya sosial. Dan yang terakhir berdasarkan proses pembangunan meliputi “ Input, Proses/implementasi, Output, Outcome, Benefit & Impact. Apakah semua aspek tersebut telah diperhitungkan dan dipertimbangkan secara baik? Karena pada hakikatnya, pembangunan yang baik adalah, yang pro-poor, pro-growth & pro-employment maupun labor.
Pantas atau patut diberi apresiasi atas niat baik ketiga pemerintahan untuk membangun mega proyek diatas, namun dengan harapan telah mengakomodasi berbagai pertimbangan untuk mendorong pembangunan dengan pedekatan pengembangan wilayah secara berimbang. Jika tidak, maka dapat dikatakan bahwa mega proyek pembangunan diatas, hanya akan mempertontonkan Drama Crazy Development – kata temanku Lafdy-. Yang bisa saja, hanya menjadi penyedap telinga masyarakat menjelang pemilu dan pada akhirnya tidak terlaksana, atau dapat juga terlaksana dan kemudian tidak berhasil, atau hanya menguntungkan sekelompok orang dengan implementasi mega proyek tersebut. Semoga semua skeptisisme diatas tidak terbukti atau terwujud. Tabeeea…………. Chiko Ngeilo Masure.

baca selengkapnya......

Sumber Daya Alam ; Berkah Atau Petaka? Sebuah Perspektif

Mencermati aktivitas ekstraksi sumber daya alam di hampir seluruh daerah di Republik ini, semua orang yang masih menyisakan sedikit kearifan untuk menempatkan dan mensyukuri bahwa alam sebagai anugerah dari sang pencipta untuk semua mahluk yang mendiami kapal ruang angkasa yang bernama bumi, akan sangat prihatin bahkan terkesimak dan dapat mencucurkan air mata.sebab praktek kejahatan yang dilakukan atas sumber daya alam terbilang cukup luar biasa. entah itu oleh coorporasi maupun penambang lainnya yang tidak bertanggungjawab.

Dengan kondisi ini bukan tidak mungkin akan terjadi kutukan sumber daya alam, jika keberpihakan terhadap sumber daya alam demikian tidak ada dalam alam pemikiran dan nurani kita. dengan bahasa agak ekstrem dapat dikatakan bahwa " Langit akan runtuh ketika tiang-tiang peyangganya dikeruk habis atas nama developmentalisme. di sisi yang lain negara (Baca : Elite/Pemerintah) terus melakukan pembodohan kepada rakyat dengan menggunakan argumentasi bahwa hal ini tak lain dan tak bukan, kecuali dilakukan hanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya bertujuan untuk mensejahterakan rakyat. sekalipun dikemudian hari rakyat hanya menjadi tumbal dari kerakusan para elite dan koorporasi untuk melakukan akumulasi kapital.
Pada konteks ini, nampaknya pengambil kebijakan hanya memiliki salah satu indikator model pembangunan, yakni penekanannya pada dimensi growth. padahal konsep pembangunan yang baik adalah tidak an-sich pro-growth, tetapi juga harus pro-employment dan pro-poor, serta yang tak kalah penting dipertimbangkan adalah keberpihakan terhadap modal alam itu sendiri. Dalam pada itu, menjadi penting dan memiliki "sifat harus" untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa dan pengusaha yang secara subtantitif telah meninggalkan bom waktu dan dipastikan bakal menjadi bencana kemanusiaan dalam jangka panjang. mengapa tidak? hal mana terlihat secara telanjang contoh kasus pasca penambangan di beberapa daerah. Misalnya pulau gebe. sungguh sebuah ironi peradaban! karena terbukti tidak ada kontribusi yang signifikan terhadap perbaikan mutu hidup masyarakat disekitar kawasan penambangan, bahkan hanya menciptakan ketergantungan dan menggeser nilai-nilai kebudayaan lokalitas serta merubah struktur mata pencaharian yang sesungguhnya.
Hal lain yang perlu disadari sedini mungkin sehingga dipikirkan solusinya adalah berbagai konsep yang dihadirkan oleh perusahaan, misalnya ; Comdev (Community Development) dan mungkin juga CSR merupakan konsep yang sebenarnya dihadirkan sebagai upaya untuk membungkam gerakan-gerakan perlawanan dari massa-rakyat. sebab jika disadari dan diamati lebih jauh, maka diketahui bahwa ternyata konsep CSR hanya bermain pada tataran "Voluntarisme", sehingga akan sangat tergantung pada kesuka-relaan perusahaan dan tentunya aspek Sustanaibility-nya tidak dapat dipertanggungjawabkan. mestinya CSR harus diletakkan pada tataran Structural Approach sehingga dimensi keberlanjutan sumber daya alam dapat dipertanggungjawabkan. pada hal terakhir inilah Negara (Baca : Pemerintah) dituntut untuk selalu pro-aktif.
Terlepas dari aspek Sustanaibility yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, CSR juga hanya mengakomodasi kepentingan-kepentingan sosial-kemasyarakatan, tidak dengan kepentingan dan hak alam. oleh karena-nya menjadi sebuah keharusan untuk mendorong model yang lebih spesifik dan lebih berpihak pada sumber daya alam. konsep yang dimaksud tersebut adalah CCRR (Coorporate Community Recources Responsibility). Konsep ini di konstruksi dan digulirkan oleh Prof. Dr. Akhmad Fauzi bersamaan dengan pengukuhan Guru Besar dilingkungan Institut Pertanian Bogor. semoga konsep yang luar biasa ini akan memberikan pemahaman yang memadai dan mampu diimplementasikan oleh semua komponen yang melakukan aktivitas ekstraksi sumber daya alam di negeri ini.

baca selengkapnya......

Pemekaran Wilayah VS Konflik Sosial

Dewasa ini ide dan gagasana tentang pembentukan daerah otonom baru melaju dengan cepat dan pesat. semangat ini mencuat ke permukaan sejalan dengan keluarnya Undang-Undang No 22 Tahun 1999 yang kemudian di revisi menjadi Undang-Undang No 32 Tahun 2004, yang tidak lain membawa angin segar dan merupakan tuntutan dari semangat dan ruh demokrasi yang digulirkan oleh berbagai kalangan. dengan lain perkataan semangat pemekaran ini mengalir bersamaan dengan kran demokrasi yang tertutup selama 32 tahun terbuka dan upaya untuk membangun keberimbangan pembangunan antar wilayah di dengungkan oleh hampir seluruh komponen bangsa.
Ironinya, gagasan pemekaran wilayah dalam perjalanannya tak lepas dari fenomena-fenomena konflik sosial dengan aktor konflik, masyarakat, negara dan tak terkecuali swasta. fenomena yang tak jarang terjadi adalah konflik tentang batas wilayah (teritori) dan Sumber Daya Alam. dengan berbagai konflik ini, sebagian komponen anak bangsa mempertanyakan urgensi dari pemekaran wilayah atau pembentukan daerah otonom. bahkan tak jarang sebagian lagi menggugatnya.karena semangat pemekaran yang sesungguhnya adalah memperpendek rentang kendali dan terlebih untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat, ternyata pada faktanya hanya menjadi komoditi politik elite lokal untuk memperebutkan kekuasaan. sehingga subtansi pemekaran tidak menyentuh pada inti dan hakikat pemekaran itu sendiri melainkan hanya menghadirkan raja-raja kecil di level lokal.
Hal lain yang tak dapat dipungkiri adalah pemekaran wilayah juga cenderung memicu terjadinya konflik sosial. fakta ini belakangan terjadi di berbagai daerah, kasus konflik antara masyarakat kao dan malifut, konflik kabupaten Halmahera Barat dan Halmahera Utara dan berbagai konflik lainnya di seluruh penjuru tanah air.
Dalam hemat penulis, konflik dan berbagai fenomena konflik diatas terjadi, karena beberapa hal yang menyertainya. diantaranya. Pertama : Kajian pemekaran cenderung hanya melalui mekanisme DPR sehingga aspek politik yang lebih dominan di pertimbangkan. Kedua ;syarat-syarat formal yang diajukan oleh aturan perundang-undangan seperti kelayakan administrasi, tekhnis dan fisik wilayah hanya formalistis, karena lobi-lobi politik yang mendominasi mekanisme tersebut.Ketiga ;kemampuan politik, ekonomi dan aspek pembiayaan lainnya yang mendorong keleluasaan pelayanan kepada massa-rakyat belum memadai. dan mungkin berbagai hal lainnya
Dengan pertimbangan realitas diatas, maka sebagai upaya untuk meminimalisir potensi konflik yang muncul akibat pemekaran wilayah, menjadi penting untuk dilakukan pengkajian mekanisme pembentukan daerah otonom baru yang lebih mumpuni, serta tidak mengabaikan syarat-syarat yang telah ditentukan. dan yang tak kalah penting dipertimbangkan adalah menyangkut kesiapan daerah, baik dalam aspek pembiayaan, SDM dan kredibilitas birokrasi dalam melakukan pengelolaan pemerintahan yang bersih dan lebih baik. hal lainnya adalah melakukan pengutan kapasitas publik untuk mengontrol kinerja eksekutif dan terutama legislatif yang merupakan wakil rakyat yang cenderung mengeksploitasi rakyat. sehingga semangat pemekaran wilayah yang intinya adalah meningkatkan pelayanan publik dan mensejahterakan rakyat benar-benar diwujudkan secara lebih bijak dan arif. tabeeeea jou.... chiko ngeilo masure

baca selengkapnya......

Mahasiswa, Masyarakat & Sopir Angkot (Telaah Fenomena Transportasi di Kota Bogor)

Judul tulisan diatas menggambarkan kehidupan yang secara telanjang dilihat setiap hari dibogor antara Mahasiswa, Masyarakat dan sopir Angkot. daerah yang begitu dekat dengan pusat pemerintahan, namun begitu terlihat semrawut. didaerah/Kota ini banyak didirikan Universitas yang katanya Handal, salah satunya adalah IPB,yang katanya telah menghasilkan para planner yang jg memadai, namun ironi atau bahkan lacurnya adalahnya daerah ini tampak seperti tidak tertata. contoh yang begitu gamblang terlihat adalah terminal angkutan umum yang ngga tau kejelasannya dan tempat berhenti angkot yang seharusnya.padahal jika diamati salah satu penyebab terjadinya kemacetan adalah secara seenaknya para sopir angkot menghentikan mobilnya (Ngetem istilah dibogor). memang tidak bisa dengan serta merta menyalahkan para sopir, karena mereka jg mengejar setoran serta mencari pemenuhan kebutuhan hidupnya, sekalipun terkadang menyebalkan juga sikap para sopir angkot ini. lalu siapakah yang pantas harus disalahkan dalam konteks ini? Mahasiswa,masyarakat ataukah pemerintah?
Pada konteks ini semua komponen harus pro-aktif, utamanya adalah mahasiswa dan pemerintah, sebab mahasiswa sebagai agen of control mestinya harus memiliki kepekaan terhadap fenomena seperti ini,karena ini adalah manifestasi dari salah satu point dalam tri-dharma perguruan tinggi, jangan seperti macan ompong saja. begitu juga dengan pemerintah, penting untuk merumuskan regulasi yang mengatur tentang transportasi angkutan umum. terlebih kepada para polisi Lalulintas, peran anda sangat dibutuhkan dalam proses penegakan aturan dijalan raya, sehingga sirkulasi arus lalulintas berjalan lancar, jangan hanya ada disaat acara tilang - menilang aja. yang jauh lebih penting juga adalah peran mahasiswa untuk mempressure kepada pengambil kebijakan untuk menyeriusi masalah ini juga diharapkan, karena tanpa disadari anda juga adalah korban langsung dari tidak adanya perhatian pemerintah akan persoalan-persoalan ini. semoga saja cerita ini menggugah nurani kita untuk berteriak keras kepada para pengambil kebijakan dinegeri ini.

baca selengkapnya......

Perempuan Dan Ranah Domestik

Kata "perempuan" pada hakikatnya memiliki makna yang dahsyat, karena berasal dari kata "empu" yang mungkin saja - kalau tidak salah - berarti orang yang memiliki keahlian tersendiri dibanding orang lain, bahkan dalam agama sendiripun - kajian agama yang sebenarnya - menempatkan perempuan pada posisi yang begitu tinggi, yakni dengan meletakkan surga dibwah telapak kaki Ibu (perempuan yang telah menikah). namun lacurnya terdapat sebuah konstruksi sosial yang terlanjur dibangun sejak lama, sehingga memposisikan perempuan hanya pada ranah-ranah domestik - dapur, kasur dan sumur-. memang gelombang protes yang dilakukan oleh kebanyakan aktivis perempuan terhadap hal ini udah berlangsung sejak lama, tapi belum membuahkan hasil yang signifikan. apakah karena model gerakan yang dibangun keropos atau mungki strategi yang digunakan keliru? saya juga belum mendapatkan jawabannya.
Namun manakala sepintas diamati dapat dikatakan mungkin gerakan yang dibangun lebih bernada wacana ditingkat menengah sehingga tidak menyentuh ke gross-roots ditingkat bawah, sehingga penguatan ditingkat basiz kemudian tidak terjadi. jika benar ini yang terjadi kapan perempuan akan mengembalikan semangat kartini yang telah meletakkan fondasi dasar perjuangan seorang perempuan? lalu dimana posisi " Marissa Haque, Anggelina Sondakh dan wakil perempuan lainnya dilegislatif? apakah mereka juga telah memperjuangkan hak-hak perempuan secara signifikan? semuanya akan terjawab oleh prosesnya waktu. bukankah begitu?

baca selengkapnya......

Politik Abal-Abal Di Maluku Utara

Maluku Utara ! negeri ini konon ceritanya memiliki nilai budaya dan religius amat gemilang dimasa lalunya - Bukan berarti sekarang sudah tak ada - namun seperti terabaikan dengan sendirinya oleh (mungkin) kepentingan tak berbingkai etika, yang oleh sebagian elite negeri memaknainya sebagai domain politik. lacurnya semua dilakukan diatas landasan kesadaran dan sering mengatas - namakan demokrasi .lebih menyakitkan dan bahkan sangat menyedihkan, massa-rakyat yang pada aras ini mestinya dan bahkan harus menjadi pemegang kedaulatan, terus dilakukan pembodohan oleh para elite dan kroni- kroninya untuk menjembatani dan harus menggolkan (memuluskan) kepentingan mereka, sekalipun itu dilakukan dengan cara-cara kekerasan. prinsipnya hampir semua dimensi telah dipolitisir oleh orang-orang yang boleh dikata tak bertanggung-jawab atas nasib rakyat dinegeri ini. dan tragisnya lagi adalah massa-rakyat yang sering dijadikan tumbal oleh kepentingan mereka tersebut. sungguh ironi.Jika peradaban seperti ini terus dipertahankan, maka dengan secara sadar kita memposisikan diri sebagai ikon dalam meninggalkan bom waktu bagi generasi berikutnya. haruskah anak - cucu menerima semua kebejatan sikap yang dilakukan oleh kita hari ini, ataukah akan mengamini jika suatu saat muncul pertanyaan ; apakah yang terjadi kini adalah benih yang telah ditanamkan oleh Tete dan Om pada hari kemarin? jika seperti ini, seyogyanya kita harus jujur menjawab ya. namun sayang seribu sayang jawaban yang terlontar tidak dengan sebuah kebanggaan atas perilaku masa lalu atau dengan bahasa puitisnya adalah tidak menengadahkan wajah melainkan menundukan kepala dan meratapi semuanya.
Benar bahwa ketika kita berbicara tentang politik, maka disanalah kepentingan yang abadi- walaupun diskursus ini belum berakhir diperdebatkan-namun tidak berarti bahwa mengabaikan semua etika dan pertimbangan humanis (kemanusiaan). karena jika tidak, maka yang terjadi bukan politik yang berujung pada penegakan demokrasi namun politik abal-abal atau mengutip istilah yang sering dipakai di Maluku Utara adalah Politik Dubo-dubo. pemilihan gubernur pertama, pemilihan anggota legislatif, dan kini pemilihan gubernur kedua, yang masih hangat serta menjadi perdebatan yang tak tau kapan berakhirnya adalah contoh telanjang yang seharusnya dijadikan sebagai bahan kontemplasi bersama dalam menata dan membawa negeri ini kearah yang lebih demokratis dalam makna yang sebenarnya bukan lagi dalam makna abal-abal.Sudah saatnya untuk kita tidak saling menyalahkan, sekarang adalah bersama dalam membangun daerah yang sama kita cintai ini. jangan lagi ada perseteruan dengan mengatasnamakan etnisitas atau nilai sebuah demokrasi dan hal sakral lainnya, jika yang sesungguhnya terjadi bukan semangat itu yang dibawa, karena tumpahan darah sudah terlalu banyak mengalir dan sepertinya bumi Maluku Utara pun tak menginginkannya lagi -andai dapat berbicara-. cukup sudah kita kotori dan nodai dengan hal lain, jangan lagi dengan tangisan atas sebuah sikap yang tak berdasar. negeri ini mengharapkan adanya kedamaian, kebersamaan dan bukan kekerasan. biarkan para elite dan kroni-kroninya bertikai - itupun jika mereka mau dan berani- sehingga rakyat menjadi penonton setia dan kemudian menertawakan kebodohan mereka. tapi sangat tidak mungkin itu terjadi, selama rakyat dan terlebih kelompok gerakan maupun elemen strategis lainnya selalu bergandengan tangan secara mesra dengan para elite tersebut dan atau tetap dekat dengan kekuasaan.
Semua dapat dilakukan, jika kita mau menyisakan kearifan - jika masih memiliki- untuk memberikan sepenuhnya tanggung-jawab dalam menyelesaikan persoalan-persoalan politik dinegeri ini kepada yang memiliki otoritas dan membangun sebuah manifesto bersama untuk menyatakan LAWAN dan MENGUTUK keras sikap para elite dan kroni-kroninya yang selama ini memposisikan massa-rakyat hanya sebagai motor untuk memuluskan kepentingan mereka. saatnya kedaulatan rakyat harus diletakkan pada makna hakikinya, tidak lagi rakyat digiring untuk mempressur kepentingan elite, melainkan demi dan untuk kepentingan rakyat itu sendiri yang harus diperjuangankan.

baca selengkapnya......

Maluku Utara "Kini & Esok".

Pembangunan jelas bukanlah sekedar perkara tekhnis – ekonomi yang mengintroduksi dan mengimplementasikan proyek-proyek fisik dan mengucurkan bantuan dana semata. Tetapi pembangunan harus dimaknai sebagai sebuah proses yang amat berurusan dengan harkat dan martabat bangsa. Selama ini model pembangunan yang dijalankan menunjukkan wajahnya yang eksploitatif dihampir seluruh dimensi kehidupan bangsa.
Sering dengan mengatasnamakan pembangunan kekuasaan (baca: Negara) tampak dengan leluasa untuk berlaku tidak adil. Belajar dari kebangkrutan moral dan legitimasi semacam inilah, maka usaha pembangunan masyarakat, khususnya masyarakat lokal haruslah direkonstruksi dan diredefenisi sehingga lebih bermakna partisipatif. (Saiful Bahri Ruray, Menjemput Perubahan; pustaka Foshal & Kalamata Institute).

Konteks Maluku Utara :
Negeri yang pernah mengalami masa kegemilangan diabad pertengahan, yang oleh Saiful Bahri Ruray menyebutnya sebagai sebuah kosmopolit abad masa pertengahan ini mendapatkan statusnya sebagai Provinsi setelah disahkan pada tanggal 12 Oktober 1999. Namun lacurnya negeri ini mengawali langkahnya sebagai sebuah provinsi baru dengan secara terpaksa harus memikul beban yang cukup berat, yakni konflik kemanusiaan yang terjadi dipenghujung tahun 1999 yang turut meluluh-lantakan bangunan sosial/modal sosial yang telah sekian lama dibangun – Mosaik Hibualamo salah satunya-.
Terlepas dari tragedi kemanusiaan diatas, Maluku Utara perlahan memulai aktivitas pembangunannya dan menata infrastruktur yang rusak akibat konflik. Namun ironinya adalah hegemoni dan dominasi yang terjadi pada kekuasaan oleh etnik, kelompok kepentingan tertentu- utamanya dilingkungan pemerintah-. Menjadikan negeri ini dibangun diatas landasan emosi. Dinamika pertarungan etnik serta kelompok kepentingan dinegeri ini begitu telanjang terlihat, sehingga turut mengharu-biru setiap kebijakan pemerintah dan pada akhirnya tidak berdampak pada massa-rakyat secara luas melainkan lebih pada kelompok-kelompok kepentingan yang tumbuh bak jamur dimusim hujan -Sebuah dinamika pengelolaan pembangunan yang bukan saja menguras anggaran (keuangan) tetapi juga cost social yang jg begitu mahal untuk dibayar-. Lalu………….. dengan dinamika dan paradigma berpikir yang agak dangkal tersebut, kita harus menyalahkan siapa? Pemerintah? Kelompok etnik tertentu atau kelompok kepentingan yang ada saat ini? Jawabannya tidak semudah membalik telapak tangan

Yang jelas Maluku Utara membutuhkan Pemimpin yang interaktif atau dalam nilai-nilai lokaliitas disimbolkan dengan “Nasi Kuning dan Telor” – sebuah simbol yang memiliki makna filosofis yang begitu mendalam, namun terabaikan begitu saja - bukan pemimpin yang memiliki kepemimpinan positional (pemimpin yang mampu berbuat karena jabatan) atau pemimpin santa-claus (yang taunya hanya bagi-bagi hadiah). tapi mungkinkah harapan pemimpin yang ideal tersebut akan hadir ditengah-tengah semangat primordialisme yang begitu tinggi dipertontonkan oleh generasi Khairun, Babbullah, Boetila, Om sau dan Dr.Chasan Boesoeri negeri ini? iya, jika optimisme dan semangat untuk bangkit melakukan perubahan-perubahan besar ditanamkan oleh generasi muda dan tidak terkooptasi dengan gerakan-gerakan penyesatan serta mampu membangun sebuah manifesto bersama diMaluku Utara, maka impian besar ini akan dengan mudah untuk diwujudkan. Tabeeeea !

baca selengkapnya......

Minggu, 22 Februari 2009

Meningkatnya Aktivitas "Pasiar" Para Pejabat Daerah

Studi banding.....lagi...lagi... dan lagi Studi Banding!!! mungkin tidak asing lagi kata-kata diatas ditelinga masyarakat Maluku Utara. halmana, hampir setiap saat mereka mendapatkan kata-kata itu dikoran-koran lokal. atau dengan lain perkataan, nyaris setiap saat ada pejabat daerah disana yang " pasiar" atau dalam bahasa lazimnya disebut studi banding kedaerah lain - tak tanggung daerah yang dipilih adalah yang ketika mendengarnya semua orang akan merasa "waaach". bahkan tak jarang lokasi yang dipilih adalah keluar negeri -. mungkin "acara" ini telah menjadi kebanggaan tersendiri bagi pejabat di Maluku Utara.Memang, terkadang banyak protes yang dilakukan atas hal ini, tetapi lagi-lagi tidak memberikan hasil yang maksimal.

Hal ini dikarenakan gerakan yang dilakukan atau dibangun selama ini tidak didahului dengan suatu kajian yang sistematis, sehingga dengan berbagai "jurus" yang digunakan oleh mereka (baca: Pejabat) dapat merasionalkan hal ini dengan mudah. salah satu contoh yang tak jarang ditemui adalah, misalkan ketika ditanya kenapa semua pejabat harus berangkat kesana? atau kenapa lokasi studi banding yang dipilih adalah ke luar negeri? padahala semua kita tahu, hampir sebagian besar dari mereka, ada yang tak tau berbahasa inggris? jika pertanyaan -pertanyaan ini diajukan, maka sekilat jawabannya adalah kita semua berangkat karena mewakili masing-masing kepentingan bidang mereka, atau mungkin jawaban lain untuk berkelit dari pertanyaan tak tahu berbahasa inggris, mereka cenderung mengatakan cukup dengan membayar seorang yang pintar bahasa inggris semuanya pasti beres. sungguh sangat sederhana jawabannya.
Argumentasi diatas bukan tanpa dasar, tapi mungkin dapt dikatakan melampaui batas kesadaran. karena tak dapat dipungkiri bahwa aktivitas "pasiar" bagi pejabat daerah sudah melampaui batasan kewajaran. ironinya, semua yang dilakukan oleh mereka sejauh ini belum mendapatkan protes yang berarti dari publik. entah kenapa? aku juga belum menemukan jawabnya.
Namun, seyogyanya, patut dicurigai bahwa semua aktivitas diatas, dilakukan sebagai upaya untuk menghamburkan uang rakyat yang tak jelas, atau dalam bahasa lainnya adalah agar mereka dapat mengelabui massa-rakyat untuk mencuri uang rakyat itu sendiri. koq bisa demikian? iya... memang demikian faktanya. karena jika tanpa alasan dan kemudian duit rakyat hilang, tentunya mereka akan berhadapan dengan kekuatan negara (baca: Pengadilan) yang juga pada faktanya dapat dikatakan mandul dan telah melacuri wibawa kelembagaan itu.
Sulit memang. jika aktivitas yang telah dianggap budaya ini tak dapat dilawan oleh semua kalangan yang mengklaim diri berpikir tentang nasib rakyat. pada konteks itu, seyogyanya atau bahkan mungkin, menjadi sebuah keharusan untuk membangun sebuah kekuatan bersama atau yang sering disebut manifesto bersama dalam melawan bentuk-bentuk pencurian uang rakyat yang dilegalkan melalui aturan maupun peraturan daerah, yang semestinya tidak harus ada. Percaya dan yakinilah bahwa tanpa adanya perlawanan yang signifikan, jangan berharap negeri ini akan mengalami sebuah kemajuan yang berarti bagi masa depannya sendiri. tabeeeea jou. chiko ngeilo...

baca selengkapnya......

Selasa, 17 Februari 2009

Tentang Negeriku "Maluku Utara"

Jika kau mencari Indonesia? Kau akan menemukannya digubuk-gubuk para pemulung, diatas tadahan tangan para pengemis, didalam bunyi rebana dan petikan gitar para pengamen dan di tongkat-tongkat para tunanetra.Jika kau mencari Indonesia? Kau akan menemukannya dalam persekongkolan, dalam pelacuran politik uang dan ekonomi, dalam acungan pistol aparat negara dan dalam tetakan parang para pembunuh Jika kau mencari Indonesia? Kau akan menemukannya dalam rumah-rumah bordil, dalam kamar-kamar penginapan sebuah tempat peristirahatan. (AD. DONGGO)
Kata-kata dalam kalimat diatas, senyampang sangat kontekstual jika diletakkan pada konteks lokal negeriku (Baca: Maluku Utara). memang, tidak semuanya tepat, tetapi beberapa hal yang terdapat dalam bunyi kalimat tersebut dalam realitas sosial benar-benar menyelimuti negeri yang konon cerita memiliki sejarah masa lalu yang gemilang.Tulisan ini hanya merupakan sebuah perenungan intelektual dengan mencoba mengubah pertanyaan yang ditujukan buat Indonesia, kembali di alamatkan untuk Maluku Utara, maka pertanyaan dan jawaban yang didapatkan adalah- mungkin seperti ini- Jika kau mencari Maluku Utara? Kau akan menemukannya dalam persekongkolan, dalam pelacuran politik uang dan ekonomi, dalam perilaku memalukan para wakil rakyat "yang terhormat", dalam acungan pistol aparat negara untuk menghentikan aksi-aksi kritis massa-rakyatnya, atau untuk menjaga keamanan sebuah "Wibawa Pemerintah" dalam tetakan parang, panah-panah wayar dan bom rakitan para pembunuh dengan mengatasnamakan kebenaran atau paling tidak demokrasi. fenomena yang layaknya perilaku komunitas bar-barian yang hanya ada di semananjung balkan - kata Syaiful Bahri Rurai -.
Lalu,muncul sebuah pertanyaan yang sebenarnya tak asing lagi. dimana letak cerita-cerita manis tentang negeri ini, yang konon cerita, masyarakatnya memiliki adat se atoran sangat kuat, memiliki tingkat pemahaman religius yang mumpuni? nampaknya, fenomena-fenomena diatas telah memberikan sebuah skeptisisme kepada anak negeri, bahwa negeri ini memiliki nilai-nilai budaya masa lalu yang menjadi perekat antar komunitas begitu luar biasa, nilai-nilai budaya yang mengajarkan massa-rakyat untuk berbuat kebajikan serta nilai-nilai agama yang mengajarkan untuk saling mengasihi dan menciptakan kedamaian antar kita. menjadi wajar skeptisisme tersebut, halmana fenomena yang terjadi di Maluku Utara dalam konteks "ke-kini-an & Ke-disini-an"telah mengantarkan anak negeri untuk skeptis terhadap kegemilangan masa lalu negerinya sendiri. cerminan dari sikap skeptis tersebut adalah, perilaku bar-barian dan tak bertuhan yang dipertontonkan beberapa waktu lalu, salah satunya adalah membakar rumah Tuhan atas nama Tuhan - meminjam bahasa Dr. Gufran Ali Ibrahim- , pemborosan uang rakyat yang dilakukan elite lokal, bahkan yang lebih sadis uang rakyat dihamburkan di kamar-kamar hotel mewah dikota penindas kelas kakap (Baca: Jakarta), hal lainnya adalah pengurasan uang daerah dengan alasan pengurusan kepentingan rakyat, tetapi faktanya hanya dihabiskan diareal mangga besar, gajah mada, dan tempat lainnya, yang hanya mungkin lokasinya diketahui oleh para elite yang mendiami republik yang disebutkan Basri Amin, republik atau Negeri yang dibangun diatas landasan emosi.
Pada aras yang lain dinamika perilaku elite yang tidak mencerminkan wibawa sebagai pemimpin tersebut sudah bukan rahasia lagi, kasus revisi Kontrak Karya yang hanya berakhir di kamar hotel, kasus studi banding yang hanya menghabiskan uang daerah tanpa hasil maksimal, kasus penumpukkan harta oleh elite, bahkan tak jarang pegawai rendahan yang sebenarnya milik rakyat, dan berbagai kasus lain yang telah mencoreng nama besar negeri ini. berbagai hal ini merupakan bukti-bukti sejarah yang mestinya diukir sebagai bahan diskursus generasi berikutnya. karena paling tidak menunjukkan bahwa apa yang disampaikan oleh AD.Donggo dalam kalimatnya diatas benar-benar (sedikit-tidaknya) ada di Negeriku Maluku Utara.
Pada konteks itu, menjadi tugas semua elemen di Almamlakatul Mulkiyah untuk mendorong negeri ini menuju pada sebuah masa depan yang lebih baik. apakah dimulai dengan memberikan sanksi sosial kepada elite yang tidak memiliki adat se atoran, ataukah dimulai dengan pengutan kapasitas masyarakat, sehingga dapat melakukan control terhadap kinerja pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif di negeri ini. atau yang paling ekstrem adalah mendorong sebuah peraturan daerah yang menghakimi elite maupun masyarakat yang berperilaku bar-barian. semua ini membutuhkan jawaban dan kebijakan yang tak mudah.mari semua kita memikirkan jawabannya. tabeeeea jou.... chiko ngeilo masure.

baca selengkapnya......