Negeri Maka Tanoan

Negeri Maka Tanoan
GEMA TIGALALU : INTUB MAKA TANOAN, MHONAS MAKA LILIAN, MOT MAKA PALIHARA

Minggu, 01 Maret 2009

Maluku Utara "Kini & Esok".

Pembangunan jelas bukanlah sekedar perkara tekhnis – ekonomi yang mengintroduksi dan mengimplementasikan proyek-proyek fisik dan mengucurkan bantuan dana semata. Tetapi pembangunan harus dimaknai sebagai sebuah proses yang amat berurusan dengan harkat dan martabat bangsa. Selama ini model pembangunan yang dijalankan menunjukkan wajahnya yang eksploitatif dihampir seluruh dimensi kehidupan bangsa.
Sering dengan mengatasnamakan pembangunan kekuasaan (baca: Negara) tampak dengan leluasa untuk berlaku tidak adil. Belajar dari kebangkrutan moral dan legitimasi semacam inilah, maka usaha pembangunan masyarakat, khususnya masyarakat lokal haruslah direkonstruksi dan diredefenisi sehingga lebih bermakna partisipatif. (Saiful Bahri Ruray, Menjemput Perubahan; pustaka Foshal & Kalamata Institute).

Konteks Maluku Utara :
Negeri yang pernah mengalami masa kegemilangan diabad pertengahan, yang oleh Saiful Bahri Ruray menyebutnya sebagai sebuah kosmopolit abad masa pertengahan ini mendapatkan statusnya sebagai Provinsi setelah disahkan pada tanggal 12 Oktober 1999. Namun lacurnya negeri ini mengawali langkahnya sebagai sebuah provinsi baru dengan secara terpaksa harus memikul beban yang cukup berat, yakni konflik kemanusiaan yang terjadi dipenghujung tahun 1999 yang turut meluluh-lantakan bangunan sosial/modal sosial yang telah sekian lama dibangun – Mosaik Hibualamo salah satunya-.
Terlepas dari tragedi kemanusiaan diatas, Maluku Utara perlahan memulai aktivitas pembangunannya dan menata infrastruktur yang rusak akibat konflik. Namun ironinya adalah hegemoni dan dominasi yang terjadi pada kekuasaan oleh etnik, kelompok kepentingan tertentu- utamanya dilingkungan pemerintah-. Menjadikan negeri ini dibangun diatas landasan emosi. Dinamika pertarungan etnik serta kelompok kepentingan dinegeri ini begitu telanjang terlihat, sehingga turut mengharu-biru setiap kebijakan pemerintah dan pada akhirnya tidak berdampak pada massa-rakyat secara luas melainkan lebih pada kelompok-kelompok kepentingan yang tumbuh bak jamur dimusim hujan -Sebuah dinamika pengelolaan pembangunan yang bukan saja menguras anggaran (keuangan) tetapi juga cost social yang jg begitu mahal untuk dibayar-. Lalu………….. dengan dinamika dan paradigma berpikir yang agak dangkal tersebut, kita harus menyalahkan siapa? Pemerintah? Kelompok etnik tertentu atau kelompok kepentingan yang ada saat ini? Jawabannya tidak semudah membalik telapak tangan

Yang jelas Maluku Utara membutuhkan Pemimpin yang interaktif atau dalam nilai-nilai lokaliitas disimbolkan dengan “Nasi Kuning dan Telor” – sebuah simbol yang memiliki makna filosofis yang begitu mendalam, namun terabaikan begitu saja - bukan pemimpin yang memiliki kepemimpinan positional (pemimpin yang mampu berbuat karena jabatan) atau pemimpin santa-claus (yang taunya hanya bagi-bagi hadiah). tapi mungkinkah harapan pemimpin yang ideal tersebut akan hadir ditengah-tengah semangat primordialisme yang begitu tinggi dipertontonkan oleh generasi Khairun, Babbullah, Boetila, Om sau dan Dr.Chasan Boesoeri negeri ini? iya, jika optimisme dan semangat untuk bangkit melakukan perubahan-perubahan besar ditanamkan oleh generasi muda dan tidak terkooptasi dengan gerakan-gerakan penyesatan serta mampu membangun sebuah manifesto bersama diMaluku Utara, maka impian besar ini akan dengan mudah untuk diwujudkan. Tabeeeea !

Tidak ada komentar: