Negeri Maka Tanoan

Negeri Maka Tanoan
GEMA TIGALALU : INTUB MAKA TANOAN, MHONAS MAKA LILIAN, MOT MAKA PALIHARA

Minggu, 29 Maret 2009

Baliho Di Bumi Pertiwi ; Sebuah Dinamika Politik

Dewasa ini, bumi pertiwi yang kita cintai diterpa berbagai fenomena, namun dapat juga dikatakan dinamika. Yach, mungkin tepatnya adalah dinamika politik menjelang ritual yang telah menyejarah, dan bisa jadi telah membumi dan monumental. Yakni suatu agenda ritual dalam lima tahunan, atau lebih dikenal dengan Pemilu. Baik Legislatif maupun Pemilihan Presiden. Berbagai harapan, juga berbagai cita-cita atas datangnya sebuah perubahan yang dapat menunjukkan wajah negeri dengan jelas – setelah sekian lama wajahnya bertopeng atau samar-samar -. Namun sontak, muncul pertanyaan apakah wajah-wajah yang menghiasi badan jalan dan terlihat bak pameran foto, yang tak kalah bersaing dengan rambu-rambu lalulintas serta papan reklame tersebut dapat membawa perubahan yang signifikan? Tentunya sebagian dengan optimisme mengatakan iya, tapi sebagian lainnya merasa skeptis dan pesimis terhadap mereka-mereka yang tinggal menghitung hari menjadi para wakil rakyat tersebut. Mengutip kata-kata seorang temanku (Masyhuri Chalid,Dosen UNNU Tidore), bahwa begitu banyak gambar wajah, begitu banyak citra, begitu banyak cerita, tentang hasrat akan kekuasaan yang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selalu mendominasi ruang wacana keseharian kita. Kekuasaan itu bisa bermanfaat manakala dijalankan sebagaimana amanatnya, tetapi juga bisa menjadi malapetaka. Namun semua itu, tergantung pada wajah-wajah yang menghasratinya, sesuatu yang secara etis bisa baik dan bisa buruk apabila keliru membuat keputusan dalam memilih. Kalau baik InsyaAllah kita akan mendengarkan cerita tentang pribadi-pribadi yang mengklaim diri sebagai democrat sejati, tentang golongan yang suka berkarya untuk bangsanya, tentang mereka yang sedang memperjuangkan demokrasi, tentang mereka yang hendak menunaikan amanat nasional, tentang mereka yang mau bercermin pada hati nurani rakyat, tentang mereka yang mencita-citakan bangsa yang bersinar seperti bulan bintang di malam hari, dan juga tentang mereka yang mengusung gerakan Indonesia raya. Tetapi sebaliknya bila itu buruk, maka yang terdengar adalah cerita tentang pribadi-pribadi yang munafik dalam politik, tentang golongan yang berkarya tapi tidak ikhlas, tentang demokrasi yang diperjuangkan dengan cara-cara yang tidak santun, tentang pengkhianatan terhadap amanat nasional, tentang hati nurani yang dibungkus najis-najis batin para tokohnya, tentang bangsa yang gulita karena bulan bintang tak lagi bersinar, atau tentang Indonesia yang menangis.
Disadari bahwa semua itu masih sebatas hasrat, sebatas gambar-gambar, yach, masih sebatas baliho. Bahwa setiap orang menghasrati kekuasaan memang tak bisa dinafikan sebagai hak eksistensial manusia. Nietzche di abad 19 menyebut ini sebagai “kehendak untuk berkuasa,” atau dalam ungkapan Foucault “kekuasaan ada di mana-mana”. Kekuasaan tak lagi di monopoli oleh kalangan elit atau bangsawan, tapi juga bisa diakses oleh kalangan grassrooth, ada semacam populisasi kekuasaan yang mencibir segala yang bersifat aristokratis, karena politik Indonesia kontemporer terutama untuk beberapa hari terakhir tengah mengalami apa yang oleh Goenawan Mohammad menyebutnya sebagai “sindrom Italia.” Maksudnya, Di Italia, menurut Goenawan, pelacur juga bisa menjadi calon presiden.(Masyhuri Chalid)
Diakui bahwa begitu banyak gambar wajah-wajah pribumi yang terpampang dengan jelas, dan diwarnai dengan kata-kata yang membuat kita terkesimak, manakala menghentikan langkah sejenak dan mencoba membacanya dengan seksama dan teliti. Dari sekian banyak wajah tersebut, boleh dikatakan,. ada yang tersenyum ramah, ada juga yang sangar menakutkan, ada yang begitu percaya diri tapi ada juga yang genit, ada yang tampak ksatria dan ada yang bergaya baby face yang imut-imut. Wajah-wajah di baliho itu secara teori adalah ilustrasi tentang hasrat untuk berkuasa, tapi bisa berpotensi sebagai ilusi, halusinasi, atau bahkan fitnah dalam politik, adalah suatu kondisi psikologis yang menghapus batas-batas antara ada dan tiada akibat dari determinasi hasrat yang membabibuta, suatu kondisi yang dalam diskursus posmodernisme disebut “hiperrealitas".Wajah-wajah di baliho itu tidak saja mau bercampur aduk untuk tidak mengatakan bersaing dengan papan reklame perusahan, tapi juga bertumpang tindih dengan rambu-rambu lalu lintas. Sebagaimana papan reklame, wajah-wajah dibaliho itu juga menawarkan barang dan jasa sepanjang itu bersimbiosis dengan kekuasaan, namun terkadang hanya menawarkan cita-cita atan janji-janji. Sebagaimana rambu-rambu lalu-lintas, baliho-baliho juga bisa mengatur dan menertibkan para pemilih untuk hati-hati dan konsisten dengan warna partai, figur juga ideologi.(Masyhuri Chalid)
Politik baliho, bisa jadi hasil konstruksi dari imajinasi. Tapi bisa jadi karena konstruksi sistem yang dibangun untuk mengacaukan suasana kota atau kampung serta memusingkan para pemilih, terutama pemilih pemula untuk meletakkan kepercayaan mereka pada wakilnya di DPR maupun DPRD, sehingga dikemudian hari sulit untuk dimintai pertanggungjawaban atas janji-janjinya. Namun politik baliho juga bisa bermakna, manakal itu dimaksudkan untuk memperkenalkan diri secara jelas –tidak samar-samar- sebagai wakil rakyat manakala mereka terpilih. Juga bisa bermakna sebagai media pendidikan politik yang baik dan bermartabat. Ironi-nya, kata-kata yang menghiasi baliho bukanlah, ungkapan yang baru pertama kali dibaca oleh publik, namun sudah kesekian kalinya kata-kata itu muncul, tapi nyatanya ibu pertiwi belum juga menghentikkan tangisnya atas keserakahan dan kesewenang-wenangan yang dialamatkan kepada anaka negeri. Wajar memang, karena yang terlihat adalah wajah-wajah lama, yang sudah lihai dalam melakukan pembohongan publik. Pada konteks ini, tergantung pada siapa, kapan, bagaimana, dan dimana politik dimaknai secara praksis.
Sekali lagi, begitu banyak wajah, begitu banyak cerita, begitu banyak hasrat, baik di pusat-pusat kota, di atas trotoar, di pasar-pasar. Politik di negeri ini sebagaimana wajah-wajah di baliho, tersirat ketidakpastian ontologis, sesuatu yang paradoks pada wilayah hakikat mengenai apa sesungguhnya politik itu. Wajah-wajah itu seperti menyingkapkan diri dari ketersembunyian, sekaligus bersembunyi di balik ketersingkapan.
Pada konteks itu, maka yang ingin penulis katakan disini adalah, tentukanlah pilihan kritis anda, dan jika mereka diragukan janganlah anda memilih, karena tidak memilih adalah hak. Dengan demikian diri-diri yang suda berdosa ini, tidak lagi menambah daftar panjang dosa yang dicatat oleh para malaikat, akibat dari melegitimasi orang-orang yang tak bertanggung-jawab atas nasib rakyat di bumi pertiwi ini. Serta tidak mengawetkan eksistensi para wakil rakyat yang tak bermoral mendiami gedung rakyat yang terhormat. Patut kiranya, untuk meragukan mereka, terlebih bagi mereka dengan baliho yang masih memanggil kekuatan arwah-arwah yang telah tiada untuk melindunginya dengan memampangkan ruh-ruh yang telah tiada dibelakang balihonya. Hal ini, adalah cerminan dari tidak adanya kepercayaan diri orang-orang yang katanya mau memperjuangkan nasib rakyat di parlemen. Sungguh sebuah ironi peradaban.
Ingat ! Kedaulatan Ada Di Tangan Anda. Ingat ! IMasa Depan Negeri Ini Ditentukan Oleh Pilihan Moral dan Bukan Pilihan Kepentingan Sesaat Anda. Sadarlah bahwa Dewa Penyelamat Bumi Pertiwi Terletak Pada Pilihan Kritis Anda.”

Tidak ada komentar: